Kurban Kok Perasaan?

Kurban Perasaan Mulu Tiap Tahun

Tiap bulan Zulhijah datang, bau kambing dan tai sapi mulai tercium di langit-langit Nusantara.

Di mana umat Islam bersiap dengan segala ritual Idul Adha. Tapi bagi sebagian orang, bau itu bercampur aroma luka dari kurban perasaan yang tak kunjung diterima jadi kurban beneran.

Setiap mendekati hari raya Kurban, jagat media sosial biasanya pasti ada yang bilang "kurban perasaan dulu". Fenomena tahunan ini lebih rutin muncul dibanding janji politisi pas masa kampanye.

Buat sebagian orang mungkin lucu, relatable, bahkan mengandung “healing.” Tapi buat orang lain yang sudah melihat lelucon “kurban perasaan” ini sudah setara dengan acara TV akhir tahun, udah basi, tapi tetep aja diputar.

Meme Tahunan yang Konsisten

Harus diakui, meme “kurban perasaan” adalah salah satu fenomena digital paling konsisten di Indonesia.

Meme ini muncul tiap tahun, lebih gigih daripada alarm pagi yang selalu kamu snooze. Bahkan saat kamu sudah ganti HP, akun, dan circle, meme ini tetap muncul kayak karma digital.

Masalahnya, konsisten bukan berarti relevan. Ada titik di mana lelucon yang diulang terus justru kehilangan makna.

Apa yang dulunya satir, sekarang malah terasa seperti cari perhatian pakai template humor patah hati.

Belum lagi ketika meme-meme ini dibuat dengan niat “menghibur diri sendiri” tapi ujung-ujungnya malah kayak soft launching luka lama.

Yang kayak begini bukan lagi pengorbanan perasaan, tapi recycling emosi untuk engagement.

Sindiran Khas Friendzone

Lucunya, banyak meme “kurban perasaan” disandingkan dengan caption galau model “udah deket tapi nggak jadian,” atau “udah sayang tapi cuma dianggap temen.”

Jadi semacam deklarasi publik, "saya digantung, dan saya bangga." Padahal, di dunia nyata, yang digantung saat Idul Adha itu sapi dan kambing, bukan hati.

Tapi ya sudahlah, mungkin ini bentuk baru dari pelampiasan modern, mempersembahkan luka pribadi sebagai persembahan digital.

Dan sayangnya, netizen kebanyakan bukannya sadar, malah ikutan. Akhirnya ini bukan lagi sindiran satu dua orang, tapi jadi cultural moment yang bikin orang berlomba-lomba cari siapa yang paling menyedihkan.

Kurban Itu Komitmen, Bukan Caption

Kalau kita tarik garis tegas, kurban dalam konteks agama itu jelas niatnya, wujudnya, dan prosesnya. Ada yang dikorbankan secara nyata, ada tanggung jawab, ada pertanggungjawaban. Bukan asal upload, terus selesai.

Sementara “kurban perasaan”? Itu bukan pengorbanan, itu coping mechanism yang dibumbui jokes. Dan yang lebih nyesek itu seringkali dilakukan bukan untuk sembuh, tapi buat kelihatan relatable.

Sapi dipilih, dibeli, dan disembelih dengan kejelasan. Sedangkan banyak orang di relasi yang digantung itu bahkan nggak tahu statusnya apa, niatnya ke mana, dan akhirnya kayak ngarep disembelih tapi malah dijadikan pajangan.

Kalau kurban betulan butuh komitmen, meme “kurban perasaan” seringkali cuma butuh quotes app dan kuota.

Analogi Religius

Kalau kamu ingat cerita Nabi Ibrahim dan Ismail, proses kurban itu jelas-jelas ujian keimanan. Berat, tapi dijalankan dengan penuh keikhlasan dan keyakinan.

Nggak ada gimmick, nggak ada kode-kode, apalagi ngarep perhatian dari followers. 

Sementara netijen ini? Mengaku “ikhlas mengorbankan perasaan”, tapi masih nyimpen chat lama, masih ngintip story-nya si mantan, dan masih posting story “lagu yang ngena banget.” Kurban model apa ini? Kurban algoritma?

Kalau Ibrahim diuji Tuhan, mereka ini diuji sinyal dan self-control. Tapi sayangnya yang dikorbankan bukan ego, malah martabat. Dan semua itu dibungkus dalam satu status: “Tahun ini aku kurban perasaan lagi.”

Daging Bisa Dibagi, Tapi Lucu Jangan Dipaksa

Idul Adha itu soal berbagi. Tentang memberi yang terbaik, tentang menekan ego, dan tentang keikhlasan yang tulus bukan demi likes, bukan demi validasi.

Dan kalau kamu belum bisa kurban hewan, ya nggak apa-apa. Nggak semua orang mampu tiap tahun.

Tapi tolong… kalau belum bisa kurban hewan, bukan berarti harus kurban harga diri dengan nge-post meme galau setiap tahun.

Sapi nggak pernah nulis caption “aku ikhlas kok disembelih.” Mereka cuma diem, jalan pelan, dan tetap tenang di antara keramaian.

Jadi tahun ini, ayolah istirahat dulu dari “kurban perasaan.” Bukan karena nggak boleh sedih atau ngelucu, tapi karena udah cukup. Lagian, netizen juga butuh healing dari lelucon yang terlalu sering diulang.

Posting Komentar

Mohon bijak dalam berkomentar. Jangan lupa gunakan nama di komentar agar lebih nyaman saling balas.